Pada pertengahan Februari lalu ehef.id berkesempatan untuk melakukan live interview dengan Caroline Manik, atau yang biasa dipanggil Olin. Olin adalah alumni Erasmus+ Joint Master Degree untuk program Economics of Globalisation and European Integration.
Yuk, kita kenalan lebih jauh dengan Olin.
Olin berasal dari Porsea, Sumatera Utara, sekolah SMA di Matauli, Sibolga, dan lulus S1 dari jurusan Ekonomi Universitas Gajah Mada (UGM). Sewaktu sekolah, SMA Olin yang bekerjasama dengan Goethe Institute, memberikan kesempatan menghadiri summer school di Jerman untuk 3 orang siswa yang mengikuti kelas intensif bahasa Jerman.
Untuk info kuliah di Jerman, klik di sini.
Olin pun mendaftar program summer school ini, terutama karena sering mendengar kalau kualitas pendidikan di Eropa terkenal bagus. Ternyata, nama Olin masuk menjadi orang ke-4, dan tidak bisa berangkat untuk program summer school tersebut.
Motivasi yang sama ini membawa Olin untuk rajin mencari informasi semasa kuliah S1 di Yogyakarta. International Office UGM menjalin banyak kerjasama bilateral dengan berbagai universitas di luar negeri.
“Seperti datang ke all-you-can-eat buffet, semua informasi ada di sana. Pertanyaannya hanya kita mau mengurus persyaratannya atau tidak” tutur Olin.
Dari sini Olin mendapatkan informasi mengenai dibukanya pertukaran pelajar ke Fukuoka, Jepang. Olin lolos dalam program tersebut, dan ketika diinformasikan lolos suatu program, pendaftar harus membalas email dengan menyatakan apakah bersedia atau tidak. Waktu itu Olin langsung membalas email untuk mengkonfirmasi kesediaannya.
Setelah menerima untuk ke Jepang, ternyata Olin mendapat email yang menyatakan lolos program pertukaran pelajar ke Eropa dari Erasmus+. Sayangnya kesempatan ke Eropa ini tidak bisa diambil karena Olin sudah mengiyakan untuk ikut program ke Jepang.
Sepulang dari Fukuoka, Olin yang masih penasaran dengan Eropa, kembali mencoba program pertukaran pelajar ke Eropa. Hingga akhirnya diterima program Erasmus+ untuk mengikuti pertukaran ke Paris.
Dari seluruh pengalaman saat S1 ini, Olin belajar kalau ada keinginan harus dicoba dulu ke semua channel / link yang ada. Kalau kita benar-benar mencoba pasti ada 1 atau 2 yang lolos.
Untuk info lengkap kuliah di Prancis, klik di sini.
Selain bercerita mengenai pengalaman hidupnya, Olin juga banyak bercerita mengenai program EJMD itu sendiri. Ada dua poin yang ditekankan oleh Olin, yaitu mengenai pemilihan program dan mobility.
Kenapa?
Karena seluruh negara dan universitas sudah ditentukan oleh konsorsium program. Setiap program studi di EJMD biasanya dikelola oleh suatu konsorsium. Satu konsorsium biasanya mengelola 1 program dan terdiri dari 3 universitas atau lebih. Di dalam konsorsium ada 1 universitas yang ditunjuk menjadi koordinator konsorsium tersebut.
Jadi misalnya di program EGEI yang dipilih oleh Olin, apakah pasti harus di 3 negara tersebut (Perancis, Belgia, dan Republik Ceko)?
Jawabannya adalah tidak, karena setiap tahun host university harus dirotasi.
Uniknya lagi walaupun kalian kuliah di host university tertentu, nantinya dosen yang mengajar belum tentu dari universitas itu saja, melainkan dosen lain dari universitas anggota konsorsium. Contoh pengalaman Olin, ketika kuliah di Belgia, dosen-dosennya ada yang datang dari Spanyol, Brazil, UK, dan Cina.
Untuk info lengkap kuliah di Belgia, klik di sini.
Jumlah negara tergantung dari program studi yang kalian pilih. Kalau kalian memilih program dengan durasi 1 tahun, umumnya kalian harus pindah universitas setiap 4 bulan sekali. Sedangkan kalau kalian memilih program berdurasi 2 tahun maka kemungkinan kalian akan pindah setiap semester.
Urutan rotasinya bagaimana? Semua tergantung dari program studi dan keputusan konsorsium program tersebut.
Hanya dengan mengikuti S2 minimal 1 tahun bisa memberikan pengalaman yang tidak terlupakan karena kalian akan mengikuti perkuliahan di 2 atau 3 negara yang berbeda. “It’s fun and challenging!” tutur Olin.
Hal lain yang harus diketahui, kalau kalian mendaftar ke EJMD maka mendaftar universitas dan beasiswa menjadi 1 proses yang terintegrasi. Jadi artinya kalian apply ke program studi sekaligus apply beasiswanya.
Di tahap pengumuman nanti bisa ada 3 kemungkinan:
Kalian bisa tetap meneruskan kuliah di program studi tersebut (dan mengikuti mobilitasnya) namun dengan pembiayaan dari sumber lainnya, self-funding misalnya. Tidak ada perbedaan antara yang self-funding dan beasiswa dari Erasmus+ kok.
Beasiswa ini mencakup school fee, living cost, insurance, flight, dan mobility dari satu universitas ke universitas lain selama program berlangsung. Tantangannya adalah, pihak Erasmus memberikan seluruh uang tersebut untuk kalian kelola sendiri, jadi bisa berhemat atau tidak sepenuhnya tergantung kalian.
Untuk info lengkap kuliah di Republik Ceko, klik di sini.
Kalian perlu membaca secara rinci persyaratan yang ada di website. Setiap program studi punya website sendiri-sendiri, jadi kalian harus cermat ya.
Bisa googling dengan keyword “EJMD Catalog”. Dalam 1 tahun kalian bisa memilih maksimum 3 program studi, jadi carilah yang sesuai passion dan goal kalian.
Setiap program studi pasti punya persyaratan yang berbeda-beda. Olin menceritakan persyaratan dari program EGEI yang telah dijalaninya, antara lain:
Karena koordinator konsorsium EGEI adalah University of Antwerp, maka waktu itu Olin diminta untuk menerjemahkan ijazah S1 ke bahasa Inggris atau Belgia dan dilegalisir oleh kampus.
Program EGEI sendiri tidak mensyaratkan nilai IELTS minimum. Jadi kalau kalian takut nilai IELTS kalian kurang, sebaiknya dibaca dengan seksama persyaratan dari program studi yang kalian inginkan, karena bisa jadi tidak ada skor minimum yang diminta.
Motivation letter ini adalah mediator antara pelamar dan selection committee untuk program yang mau kalian tuju. Olin menekankan kalau di dalam motivation letter ini sebaiknya ada benang merahnya. Antara masa lalu, sekarang, dan masa depan ada keterkaitan.
Kalian bisa menceritakan skripsi S1 terkait dengan bahasan di dalam program studi tersebut, dan rencana kalian kedepannya – semuanya harus saling berhubungan.
Baca juga: Panduan Lengkap Menulis Motivation Letter untuk Melanjutkan Studi Ke Eropa
Kebanyakan penerima program EJMD memperpanjang residence permit mereka untuk mencari pengalaman magang atau melanjutkan kuliah. Ada beberapa negara yang memberikan waktu apakah mau mencari kerja di negara tersebut atau tidak. Semuanya tergantung tujuan kalian dan alasan kalian mengambil program EJMD ini.
Ketika ditanya apa saja yang menjadi tantangan untuk Olin dalam proses aplikasi ke EJMD, Olin menjawab tantangannya hanya satu:
Dulu setelah lulus S1, Olin sempat memiliki full time job dan hampir tidak punya waktu untuk menyiapkan seluruh persyaratan yang diminta. Olin bersedia mengorbankan waktu liburnya di akhir minggu dengan belajar IELTS dan menulis motivation letter, sampai bisa diterima dan kuliah di Eropa.
Setiap program memiliki kebijakan masing-masing. Ada yang tanggal deadline termasuk tanggal kirim persyaratan baik softcopy maupun hardcopy (cap pos), tetapi ada juga tanggal deadline berarti persyaratan hardcopy harus sudah diterima oleh mereka.
Menurut Olin, ada beberapa program yang mengijinkan kalau kalian belum memiliki ijazah atau belum sidang skripsi. Namun kalian harus menginformasikan situasi kalian ke koordinator konsorsium ya, mereka siap membantu kok.
Olin termasuk beruntung karena mendapatkan visa untuk 1 tahun penuh dari Perancis. Teman satu kelasnya ada yang mendapatkan visa hanya untuk 4 bulan, jadi ketika akan pindah dari Perancis ke Belgia, mereka harus mengurus visa kembali.
Proses pengurusan visa dilakukan sendiri oleh mahasiswa, pihak konsorsium hanya memberikan dokumen terkait yang diperlukan. Intinya, ikuti saja prosedurnya, nanti akan dibantu oleh Erasmus+ dan konsorsium.
Jadi prosesnya di EJMD mahasiswa hanya memilih topik untuk thesis dan pembimbingnya akan ditentukan oleh konsorsium. Prosesnya sendiri tergolong cepat. Olin mulai mengikuti program EJMD bulan September dan bulan November harus sudah memilih topik untuk thesis. Nah di proses ini bisa jadi kalian mendapatkan dosen pembimbing yang tidak berada di negara yang sama.
Olin mendapatkan pembimbing yang berdomisili di UK, sehingga tidak mungkin untuk bimbingan tatap muka. Sebagian besar bimbingannya dilakukan lewat Skype dan email. Sempat merasa shock ketika awal pengerjaan thesis, apalagi Olin terbiasa bimbingan bertemu langsung dengan dosen ketika S1. Namun setelah dijalani akhirnya terbiasa juga. Oya, di program EGEI tidak ada sidang thesis, tapi di beberapa program lain ada yang perlu sidang thesis.
Di setiap negara Olin harus belajar bahasa lokal agar lebih mudah untuk berinteraksi untuk kebutuhan sehari-hari, dan setiap 4 bulan harus menyesuaikan diri. Tantangan yang paling diingat oleh Olin ketika mau pindah negara dan mencari akomodasi di negara baru.
Kalau mencari akomodasi, kalian harus cek dorm yang disediakan atau mencari apartemen yang bisa sharing dengan teman-teman. Sewaktu di Praha, Olin sempat tinggal di apartemen bersama 2 orang lain dari Ceko dan Amerika. Sharing apartemen ini biasanya lebih murah daripada dorm.
Baca juga: Belajar dan Berbahagia di Surga Cokelat Belgia
Olin berada di 1 kelas yang sama dengan 32 orang lainnya (yang berasal dari 23 negara berbeda) dan harus melalui proses mobility yang sama. Olin memberikan tips kalau kalian harus membuka diri dan mau berteman dengan siapa saja, karena nanti mereka yang akan banyak membantu kalian selama kuliah di Eropa. “Seperti mendapat keluarga baru” tuturnya.
Kalaupun kalian gagal, berarti effort kalian belum maksimal. Kalau kalian melihat ada orang lain yang sudah pernah melakukan dan bisa, kalian juga pasti bisa – asalkan mau mencoba.
Terima kasih Olin atas sharingnya, kita jadi bersemangat untuk apply Erasmus+!