Pengaruh media sosial dalam kehidupan bergantung bagaimana cara kita menggunakannya.
Jika baik, di kemudian hari media sosial juga akan memberikan dampak positif. Sebaliknya, media sosial pun mampu memberikan dampak negatif bagi penggunanya apabila digunakan dengan cara yang kurang bijaksana.
Di antara mereka yang melakukan pemeriksaan, 47% di antaranya mengaku bahwa media sosial memberikan pengaruh positif pada penilaian. Sementara itu, terdapat 42% petugas yang mengaku bahwa media sosial memberikan efek negatif pada penilaian terhadap para kandidat.
Kasus yang jauh lebih jelas terjadi tahun lalu, di Harvard University, Amerika. Sedikitnya ada 10 kandidat mahasiswa yang awalnya sudah diterima sebagai mahasiswa baru di sana, kemudian lantaran media sosial status penerimaannya dicabut oleh pihak kampus.
Adapun aktivitas di media sosial yang mereka lakukan adalah aktivitas-aktivitas yang tidak senonoh dan pantas, seperti rasisme dan pelecehan terhadap golongan atau ras tertentu, menyebarkan meme dengan kata-kata yang tidak pantas, hingga aktivitas kekerasan seksual.
Bagi kita yang bermimpi untuk meraih beasiswa ke luar negeri, hal-hal semacam ini sudah sepatutnya kita sadari sejak dini. Karena tentu kita tidak ingin aktivitas-aktivitas di media sosial justru menghambat jalan kita meraih mimpi, bukan?
Ujaran kebencian, apalagi yang ada hubungannya dengan politik, agama, suku, ras, seks dan gender, akan membuat penilaian petugas terhadap seorang kandidat memburuk. Konten bernuansa kekerasan, rasis, diskriminasi, intoleran, juga sama buruknya. Untuk itu, sebisa mungkin hindari atau bahkan bersihkan linimasa media sosial kita dari aktivitas semacam ini, baik dalam bentuk status, konten sharing, maupun komentar.
Info lengkap mengenai Beasiswa LPDP, klik di sini
Beberapa petugas memeriksa media sosial juga untuk mengenal karakteristik atau kepribadian kandidat, oleh karena itu hindari pula aktivitas yang membuat kita tampak buruk di mata petugas penerimaan.
Tidak peduli itu berbentuk gambar atau komentar, segala yang dibagikan tanpa mempertimbangkan nilai etika, maupun estetika; berkata kotor, gambar tidak senonoh, hingga kekerasan, bisa disebut postingan sampah.
Postingan-postingan yang membesar-besarkan diri sendiri di berbagai aspek, namun tak dibuktikan dengan capaian dan prestasi. Tidak ada yang percaya dengan sesumbar itu. Ditandai dengan pengabaian dari orang-orang di lingkaran pertemanan media sosial.
Segala aktivitas di media sosialnya bertujuan untuk mencari popularitas. Apapun akan dilakukan, baik itu membagikan foto, komentar, sampai kejadian-kejadian memalukan, hanya demi mendapatkan popularitas.
Konten positif yang dimaksud bisa berupa banyak hal.
Mulai dari konten-konten yang menginspirasi, menunjukkan kegembiraan atas aktivitas sosial yang dilakukan saat ini. Konten-konten positif juga bisa berupa postingan yang menunjukkan kedekatan kita bersama keluarga, aktivitas kerelawanan, juga prestasi, penghargaan atau capaian-capaian yang sedang atau pernah kita raih.
Konten positif juga bisa tunjukkan dengan membagikan karya-karya kita ke publik dunia maya. Misalnya seorang fotografer dengan hasil jepretan-nya, seorang fashion designer dengan gambar-gambarnya, penulis fiksi dengan cerita-ceritanya, businessman dengan startup yang sedang dikelolanya. Semua itu dapat menunjang kredibilitas dan skill.
Bagaimana dengan berdebat dengan teman di media sosial?
Hal ini sah-sah saja dilakukan selama tidak berujung menjadi debat kusir. Justru, perdebatan bisa menjadi nilai lebih, apabila dilakukan dengan baik: masuk akal, berdasarkan argumen-argumen yang kuat, dan disertai rujukan atau referensi yang valid.
Baca juga: Do’s & Don’ts Penggunaan Media Sosial Bagi Mahasiswa
Sudah banyak perguruan tinggi yang memiliki akun media sosial. Bahkan, membuka peluang berkomunikasi dengan mereka melalui akun tersebut. Maka sudah tentu ini merupakan kesempatan besar bagi kita untuk memanfaatkannya.
Jalin kontak dengan pihak perguruan tinggi melalui media sosial kita.
Bangun komunikasi yang positif.
Dengan begitu kita bisa menunjukkan minat kita untuk masuk ke perguruan tinggi tersebut. Selain itu, hal ini juga bisa memancing petugas penerimaan dan pihak perguruan tinggi untuk mengenal lebih jauh ‘siapa kita’ melalui akun-akun media sosial.
Info lengkap mengenai Beasiswa Erasmus+, klik di sini
Benar, menjadi diri sendiri.
Ini adalah kunci dari segala upaya untuk melakukan personalisasi terhadap akun media sosial.
Sebab, percuma saja lini masa kita sudah bersih dari konten negatif dan penuh dengan konten positif, juga telah membuka komunikasi dengan pihak perguruan tinggi, tapi nyatanya cuma dianggap sebagai ‘pencitraan’?
Alasan mengapa banyak petugas penerimaan mahasiswa baru di perguruan tinggi mulai menggunakan media sosial untuk mengenal lebih jauh para kandidat, ialah informasinya lebih aktual dan real daripada CV.
Karena toh, pada kasus-kasus tertentu, petugas bisa saja menemukan sesuatu yang bertolak belakang di media sosial dengan apa yang kita tulis di motivation letter. Atau bisa disebut keberuntungan apabila mereka justru menemukan prestasi dan capaian kita di media sosial yang mana sebenarnya tak kita cantumkan di CV.
Hal itu demi membantu para petugas untuk mengenal siapa kita dengan informasi yang paling mendekati kenyataan.
Info lengkap mengenai Beasiswa Kuliah di Eropa, klik di sini