Foto oleh: Marco Di Lauro/Getty Images
Setelah pusat pendamik bergulir dari Asia ke Eropa, Presiden Komisi Eropa (European Commission) Ursula von der Leyen mengumumkan bahwa Uni Eropa akan menutup semua akses untuk masuk dan keluar dari area Uni Eropa dan zona Schengen selama 30 hari.
“Mengurangi bepergian akan menambah (potensi) kita untuk menahan virusnya (menyebar)” utarnya. “Berpergian yang tidak perlu harus dikurangi untuk meredakan tingkat penyebarannya yang berkelanjutan, di dalam Uni Eropa dan juga keluar dari Uni Eropa."
World Health Organization (WHO) mengatakan kebanyakan dari jumlah kasus yang terkonfirmasi, 80% dari 200,000 total kasus terjadi di Eropa dan Wilayah Barat Pasifik, termasuk Asia. Setelah Tiongkok dimana virus korona pertama kali di temukan,Italia adalah negara yang paling banyak korban saat ini. Angka kematiannya sudah melebihi Tiongkok.
"Rumah sakit di Italia berjuang untuk menangani pasien yang terjangkit. Peristiwa seperti ini belum pernah terjadi lagi sejak perang dunia kedua," kata Massimo Galli, direktur penyakit menular di rumah sakit Sacco University, Milan yang menangani banyak pasien virus korona. “Jika tingkat terjangkitnya terus bertumbuh, upaya untuk menahannya akan semakin sulit dilakukan.”
Dunia sedang berada di bawah tekanan berat untuk mempersiapkan peningkatan pasien COVID-19 yang diprediksi akan terus bertambah. Sejauh ini Prancis telah melaporkan lebih dari 9000 kasus dan lebih dari 260 kematian. Presiden Macron telah mengisolasi negaranya dan menyebut pendamik ini adalah "perang kesehatan". Seluruh tempat umum telah ditutup dan kegiatan yang tidak perlu telah diberhentikan. Rakyat Prancis yang masih berkeliaran di luar rumah bisa terkena denda dari €38 sampai €135.
6,5000 dokter dan perawat yang sudah pensiun diminta pemerintah Inggris untuk kembali bekerja dan masuk kedalam tim garda depan penanganan virus korona karena kurangnya tenaga ahli kesehatan yang tersedia di National Health Services (NHS). Seperti negara-negara lainnya, warga Inggris diharuskan untuk mengisolasi diri di rumah masing-masing, khususnya lansia, sebagai bagian dari upaya perlindungan untuk memperlambat pandemi virus korona di Inggris.
Dari pandemi ini, kekompakan dan limitasi dari ikatan Uni Eropa terpapar: kesatuan 27 negara anggota yang awalnya menyetujui keterbukaan akses tanpa batas wilayah negara terpaksa harus mengisolasi dari satu sama lain secara internal. Kolaborasi yang diimpikan terlihat berbeda saat era krisis.
Penjangkitan virus korona adalah masalah terbaru dari panjangnya tantangan yang menguji kesatuan Uni Eropa di abad ke-21. Di tahun 2008, Eropa dihadapi dengan krisis ekonomi dunia dimana negara-negara dengan penghasilan lebih tinggi sungkan untuk menanggung beban ekonomi negara-negara kecil yang ekonominya terguncang keras. Selanjutnya, di tahun 2015, Eropa kebanjiran pengungsi dari negara-negara yang terlibat perang - 1 juta orang datang ke perbatasan Uni Eropa mencari suaka, satu pemerintah menoleh ke pemerintah lain; hanya sedikit dukungan yang hadir untuk Italia dan Yunani.
Kebijakan Uni Eropa tidak mencakup tanggung jawab atas kebijakan kesehatan di setiap negara anggota. Peran komite adalah untuk memastikan setiap negara anggota mempunyai akses peralatan medis yang diperlukan seperti masker pelindung, ventilator, dan kit pengujian tes virus korona.
Saat ini, bisa dimengerti jika dengan pemerintahan, elektoral, birokrasi, sistem kesehatan, dan kepentingan nasional masing-masing, negara anggota harus memikirkan kesejahteraan rakyatnya. Karena instruksi dari Uni Eropa yang kalah cepat dengan perkembangan virus yang tidak tahu batas negara, negara-negara anggota pun merespon secara independen.
Polandia, sudah menutup batasan wilayah negara sepenuhnya. Negara lain seperti Jerman dan Prancis membatasi ekspor pada peralatan medis pelindung, dimana menjadi kontroversi karena banyak negara lain yang sangat membutuhkannya. Walaupun negara-negara ini tidak melanggar perjanjian dibawah Uni Eropa, tetapi ketidak kompakan terlihat jelas.
Uni Eropa mencoba untuk mengejar perkembangan kebijakan yang diterapkan setiap negara agar tetap dalam satu kesatuan dan pemahaman. Tapi tidak bisa di pungkiri bahwa penanganannya terlihat tidak terkoordinasi, terlalu minim, dan bahkan kontradiktif. Hal ini bisa mengacaukan usaha yang telah dilakukan untuk melawan penyebaran virus corona.
“Tidak banyak kendali (dalam menangani virus corona) dan ada kekurangan dalam persisi upaya yang dilakukan,” Lam Chuen, presiden dari Asosiasi Federasi Tionghoa di Catalonia, berbicara kepada El Periodico. “Dibandingkan oleh apa yang Tiongkok sudah lakukan dengan apa yang Eropa sedang lakukan, kami sangat khawatir”.
Untuk lebih memiliki wewenang, Uni Eropa harus menyelesaikan masalah dimana Komite dapat memberikan nilai dan menunjukan mereka punya tujuan di tengah krisis, terutama di dalam isu kesehatan dan rancangan regulasi perbatasan internal yang berada dibawah yurisdiksi mereka.
Secara historis Eropa telah berhasil untuk mengukuhkan kelembagaan pasca perang dunia kedua yang melambangkan kerja sama dan solidaritas. Apapun yang terjadi sebab krisis saat ini, saat semua berakhir, Eropa tidak akan sama seperti sebelumnya lagi.
Tak bisa dipungkiri Eropa sedang berada di keadaan yang sulit, mawas diri, dan tidak pasti. Di sinilah solidaritas, kompetensi, dan keutuhan Uni Eropa diuji kembali.