Bermimpi Melanjutkan Studi ke Eropa? Jangan lewatkan EHEF 2018, pameran pendidikan tinggi Eropa terbesar di Indonesia yang paling dinanti-nanti. Segera daftarkan dirimu sebagai peserta dalam perhelatan akbar EHEF 2018 secara GRATIS di sini.
Oleh Erzawansyah
Tidak dapat dipungkiri, hambatan akan selalu ada dalam setiap pengambilan keputusan. Hambatan-hambatan tersebut kerap membuat seseorang menyerah sebelum berusaha. Padahal, masih ada kemungkinan bagi orang itu untuk menyelesaikan hambatan-hambatan yang ada di hadapannya.
Inilah yang kerap dialami pelajar di Indonesia ketika ingin melanjutkan studi ke luar negeri. Ketakutan, kekhawatiran, atau bahkan ketidakpercayaan diri, terkadang membuat mereka bingung untuk mengambil keputusan: “apakah saya harus melanjutkan kuliah ke luar negeri?”
Padahal, di balik hambatan itu, banyak keuntungan yang bisa didapat saat berhasil merealisasikan keputusan tersebut. Tidak hanya menambah pengalaman, karir seseorang juga bahkan bisa melejit apabila pernah mengenyam pendidikan di luar negeri.
Webinar itu diisi oleh dua perwakilan dari IDN Inggris, yakni Ayleen Wisudha dan Stevanda J. Mamahit.
Ayleen Wisudha sudah 40 tahun tinggal di Inggris. Ayleen, begitu panggilannya, pernah menjadi dosen di Westminster University, London, selama 20 tahun. Bidang keahilannya adalah Psikologi Bisnis. Perempuan yang juga aktif mengampanyekan psikologi untuk training and development itu merupakan ketua IDN untuk wilayah Inggris dan Republik Irlandia.
Sementara Stevanda J. Mamahit adalah kandidat mahasiswa S2 di City, University di London jurusan Media & Communication. Sebelumnya, perempuan yang akrab disapa Vanda ini juga menempuh pendidikan S1 di Inggris, tepatnya di Westminster University, jurusan Marketing Communication. Selama menjadi mahasiswa, Vanda pernah menjadi Vice President Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) London dan saat ini, ia aktif membantu IDN untuk menyelenggarakan event di sana.
Official Website: Indonesian Diaspora Network
“Fokus kepada diri sendiri,” seru Ayleen.
Dalam menghadapi setiap hambatan dalam mengambil keputusan, fokus kepada diri sendiri adalah kuncinya.
Ketika kita memutuskan untuk melanjutkan kuliah di luar negeri, tentu ada perasaan yang mengganjal dalam benaknya. Entah itu tentang ketidakpercayaan diri, hubungan dengan orang tua, atau bahkan keengganan meninggalkan kerabat dan teman-teman. Kendati begitu, terlarut dalam perasaan-perasaan justru dapat menghalangi seseorang membuat keputusan yang tepat.
Ayleen memberi saran agar pelajar Indonesia, fokus kepada masa depan dirinya. Faktor-faktor yang menghambat pengembangan diri ia harap bisa diselesaikan sesegera mungkin.
Bagaimana cara menyelesaikannya?
Ada sebuah cara yang ditawarkan Ayleen. Menurutnya, persoalan yang kita hadapi bisa diibaratkan sebagai sebuah bunga. Dimana kelopaknya adalah hambatan-hambatan yang kita hadapi. Itu berarti, kita harus membagi masalah-masalah tersebut ke beberapa bagian, secara detil dan spesifik.
Analogi bunga sebagai hambatan-hambatan kita dalam mengambil keputusan, dapat dilihat di gambar berikut.
Dari gambar di atas, dapat kita ketahui bahwa terdapat beberapa hambatan yang berasal dari dalam, maupun luar diri kita sendiri. Prioritaskan hambatan-hambatan dari diri sendiri untuk diselesaikan satu per satu. Ini merupakan cara bagaimana agar kita bisa fokus ke diri sendiri.
Adapun masalah-masalah eksternal bukan berarti tak harus diusahakan agar selesai. Hanya saja, hal tersebut bisa diselesaikan setelah kita menyelesaikan hambatan-hambatan dari diri sendiri. “Terutama untuk scholarships. Saya sarankan, kalau ngambil dari langkah pertama, jangan memikirkan scholarships dulu,” katanya.
Ayleen mengatakan, masalah yang kita rasakan akan lebih mudah diselesaikan apabila dipecah ke beberapa bagian dengan spesifik dan detil. Sebab, bila kita berusaha menyelesaikan masalah sekaligus, tanpa memecahnya ke dalam beberapa bagian, masalah tersebut justru akan membuat kita merasa berat menghadapinya.
Partner for Indonesia di Lumina Learning itu juga menitikberatkan pada aksi kita dalam menyelesaikan masalah. Menurutnya, aksi yang dilakukan dalam menanggulangi hambatan yang kita hadapi juga dilakukan berdasarkan diri kita sendiri, karena masa depan kita ada di tangan kta sendiri. “Jangan mencoba pakai cara orang lain. Coba jadi diri sendiri,” katanya.
Untuk daftar universitas di Inggris, klik di sini.
Seumpama kita sudah membuat keputusan untuk melanjutkan perguruan tinggi. Kemudian, kita juga telah membuat keputusan untuk mengambil jurusan dan perguruan tinggi apa yang akan kita tuju.
“Segera ajukan application letter,” jelas Ayleen.
Tapi, bagaimana application letter yang baik?
Ayleen yang telah menjadi dosen di Westminster University selama bertahun-tahun, membagikan sudut pandangnya sebagai seorang dosen dalam melihat application letter yang baik.
Aplikasi yang diterima para dosen di salah satu perguruan tinggi, memang telah melalui proses seleksi terlebih dahulu oleh admission officer, khususnya untuk kelengkapan dokumen. Meski begitu, jumlah aplikasi yang diterima setelah melalui seleksi pun, masih terbilang cukup banyak. Oleh karena itu, ada upaya-upaya yang perlu dilakukan kandidat dalam mengajukan aplikasi agar menonjol dibandingkan dengan kandidat lainnya.
Daripada melihat kelengkapan dokumen, tim seleksi dari pihak dosen lebih sering melihat personal statement dari masing-masing kandidat. Hal itu bertujuan untuk membaca motivasi, passion dan cara berpikir dari mereka.
Rencanakan apa yang akan kita tulis dalam personal statement tersebut. Kalau perlu, kita bisa membuat mind map untuk membantu memilah dan memilih informasi yang penting untuk dimasukkan. Eksplorasi diri kita, kepribadian, kelebihan dan pengalaman yang membuat kita spesial di mata penyeleksi. Baru kemudian tulis sesuai dengan apa yang sudah direncanakan.
“Bisa dibayangkan, kita membaca personal statement banyak sekali. Tentunya, kami akan melihat mana yang lebih menonjol,” tegas Ayleen.
Tidak hanya menarik dalam segi konten, personal statement yang kita ajukan juga harus ditulis dengan bagus dan komprehensif. Disini, kita membutuhkan keterampilan menulis. Personal statement merupakan cara kita mengomunikasikan niat kita untuk masuk ke sebuah perguruan tinggi. Pesan dalam personal statement tentu tidak akan sampai secara tepat apabila tidak ditulis dengan bagus.
Bagus dalam hal ini, juga berarti komprehensif. Jangan sampai personal statement tidak memiliki kesinambungan antar paragraf. Hal tersebut justru menunjukkan bahwa cara berpikir kita tidak sistematis dan bisa membuat kita tidak dipertimbangkan oleh para dosen yang menyeleksinya.
Pengalaman kerja yang dimaksud, tidak terikat pengalaman kerja di perusahaan dan menduduki jabatan tinggi. Pengalaman di organisasi, menjadi panitia sebuah event, atau pengalaman magang juga bisa kita sertakan di dalam application letter. Hal ini membuat kita akan lebih dipertimbangkan oleh tim seleksi dari pihak dosen. Tim penyeleksi, kata Ayleen, tertarik dengan kandidat yang memiliki pengalaman kerja.
Ayleen menyatakan, bahwa pengalaman kerja, pengalaman organisasi, atau pengalaman lainnya bisa menunjukkan bahwa kita merupakan pribadi yang bertanggung jawab. Selain itu, pengalaman tersebut juga dapat membuktikan kualitas kita dalam kehidupan sosial. Jadi, sebisa mungkin sertakan semua pengalaman yang kita miliki.
Pengalaman kerja, lanjut Ayleen, juga bisa kita sertakan dalam personal statement. Namun, jangan lupa untuk menulisnya secara komprehensif. Jelaskan pula bagaimana pengalaman kerja itu akan menunjang proses perkuliahan kelak. “Jangan cuma banyak, masih harus di highlight di personal statement dan ada balance agar tidak terlalu panjang,” tegas Ayleen.
Dalam sudut pandang seorang dosen atau tim penyeleksi, sistematika dalam pengajuan application letter juga menjadi pertimbangan.
Bagaimana kandidat dapat membuat application letter tersebut terstruktur dan rapi?
Apakah menyediakan covering?
Sampai sejauh mana kemudahan dalam membaca application letter tersebut?
Application letter yang sistematis, menurut Ayleen, adalah application letter yang menyertakan cover dan membantu pembaca untuk mengetahui isi dari surat pengajuan tersebut. Hal ini bisa dilakukan dengan menyertakan daftar lampiran dari dokumen yang diajukan. Sehingga, tim seleksi lebih mudah dalam memahami isi dari dokumen itu.
“Kalau application-nya sistematis, itu menunjukkan kualitas kandidat juga, terutama dalam mempresentasikan dirinya. Jadi, presentasi dan cara menyampaikan dalam berkomunikasi itu sangat penting,” kata Ayleen.
Menjadi kandidat yang menonjol dibandingan dengan kandidat lain, juga bisa kita lakukan dengan mulai membuka komunikasi kepada pihak kampus. Langkah awal yang bisa dilakukan, adalah membuka komunikasi dengan admission officer.
Setelah mengajukan aplikasi, kita bisa melakukan kontak dengan mereka. Bisa melalui email, telepon, atau bahkan lebih baik lagi apabila kita melakukan kontak melalui Skype. Karena, semakin jelas penggambaran diri kita dengan pihak kampus, semakin baik.
Untuk informasi mengenai beasiswa Kuliah di Inggris, klik di sini.
Jauh sebelum Vanda, panggilan akrab Stevanda J. Mamahit, menjejakan kaki di Inggris dalam rangka menempuh pendidikan S1, wanita asal Manado itu pernah tinggal di sana untuk waktu yang singkat. Saat itu ia duduk di bangku SMA. Teman-temannya membicarakan tentang summer school di Inggris.
Berbekal rasa penasaran, Vanda mencari tahu tentang berbagai hal mengenai summer school di Inggris. Singkat cerita, Vanda bisa ikut summer school di Oxford University selama dua bulan. Selama itu pula, ia belajar mengenai Inggris, cara belajar di sana, lingkungan, kebiasaan orang-orang di sana, dan lain-lain. “Saya suka, akhirnya saya memutuskan untuk S1 di Inggris,” ungkap Vanda.
Dari sinilah pengalaman studi Vanda di Inggris dimulai. Tentu banyak pelajaran yang bisa kita petik dari pengalaman tersebut. Apa saja?
Sebagaimana di negara-negara lain, tentunya sistem pendidikan di Inggris juga banyak berbeda dengan Indonesia. Kampus-kampus di Inggris lebih mengedepankan self-study.
Dalam satu semester, mahasiswa hanya dikenakan 3 s/d 5 mata kuliah. Sehingga, jam interaksi mahasiswa dengan dosen hanya sekitar 15 jam per minggu. Hal ini juga menyebabkan mahasiswa dituntut untuk belajar sendiri. Bisa dilakukan di perpustakaan atau dalam kelompok belajar.
Mata kuliah di Inggris juga langsung spesifik ke jurusan yang bersangkutan. Tidak seperti di Indonesia, yang turut menyertakan mata kuliah dasar, seperti pendidikan kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, dan lain-lain.
Adapun dalam hubungan dosen, meskipun jarang bertemu, namun di Inggris para dosen tidak membedakan mahasiswa internasional, maupun lokal. Semua diperlakukan sama sebagai mahasiswa. Bahkan, di sana tidak semua dosen juga berasal dari Inggris. Adapula dosen dari negara-negara lain. Hal ini membuka kesempatan untuk mahasiswa internasional untuk sharing mengenai negara asal masing-masing.
Dalam urusan akomodasi, Vanda mengatakan kalau biaya hidup di Inggris memang terbilang tinggi. Tapi, semua sebenarnya juga bergantung dengan bagaimana pilihan dan lifestyle kita di sana.
Akomodasi paling besar memang ada di tempat tinggal. Ada dua opsi tempat tinggal bagi mahasiswa, yaitu student accomodation dan kos-kosan. Untuk opsi pertama, biaya sewa per bulan biasanya berkisar Rp 20 juta per bulan. Sedangkan untuk kos-kosan, biaya sewa berkisar Rp 12 juta per bulan.
Kebutuhan akomodasi lain adalah transportasi. Kecuali, bila memang letak tempat tinggal kita berdekatan dengan kampus dan memungkinkan untuk berjalan kaki, maka transportasi tidak menjadi kebutuhan wajib. Adapun kebutuhan untuk transportasi sendiri, berkisar Rp 1.800.000 per bulan.
Sementara untuk urusan makan, menurut Vanda sangat bergantung dengan cara kita mendapatkannya. Apabila masak, tentu kita sangat bisa berhemat. Akan tetapi, kalau lebih sering membeli makanan di luar, maka kebutuhan finansialnya juga tentu cukup tinggi. “Kalau untuk makanan halal, tidak perlu khawatir, karena disini juga banyak restoran halal. Teman saya juga tak pernah mengalami kesulitan untuk mendapatkan makanan halal, kok,” ungkap Vanda.
Kesempatan kerja part-time juga terbuka lebar di Inggris. Terutama untuk mahasiswanya. Setiap mahasiswa biasanya diperbolehkan untuk bekerja selama 20 jam dalam satu minggu. Itu pun mengharuskan kita memiliki visa yang mengizinkan untuk mengambil kerja part-time.
Penghasilan dari kerja part-time sendiri biasanya berkisar 7 s/d 8 pound per jam. Dengan begitu, setiap minggu setidaknya kita bisa menghasilkan minimal 140 pound (sekitar Rp 2,7 juta). Untuk mencari kerja part-time di UK, menurut Vanda juga cukup mudah. Karena setiap ia berjalan melewati toko-toko dan restoran, ia sering melihat ada lembar pengumuman penerimaan pekerja part-time.
Keuntungan lain untuk kerja part-time di Inggris, adalah waktu yang fleksibel. “Kebetulan disini, toko yang hire mahasiswa itu fleksibel. Jadi, kita diizinkan bisa kerja di luar jam kuliah. Jadi manajemen waktunya lebih mudah,” jelas wanita berambut panjang tersebut.
Dan hal terakhir yang ditekankan oleh Vanda adalah aktif dalam organisasi. Vanda merupakan salah satu mahasiswa yang aktif mengikuti organisasi di dalam, maupun luar kampus. Menurutnya, banyak manfaat yang bisa ia dapat ketika aktif di sebuah organisasi atau komunitas.
Menurut Vanda, berkumpul bersama teman-teman dalam komunitas, maupun organisasi menghindari dia dari rasa kesepian. Beberapa kali ia juga merasa bahwa komunitas tersebut bisa menjadi tempat melupakan sejenak kekecewaan ketika sedang berada dalam kondisi buruk, mendapatkan nilai yang tak sesuai harapan misalnya.
Di Inggris, kata Vanda, banyak juga komunitas yang terbentuk dari latar belakang kebangsaan sama. “Ada Indonesian Society di sana. Aktif di sana bisa membuat kita merasa memiliki keluarga dan homey banget,” ungkapnya.
Untuk info lebih lanjut tentang Kuliah di Inggris, klik di sini
Di akhir sesi, Ayleen dan Vanda juga membagikan kiat-kiat bagi kita dalam mempersiapkan diri untuk melanjutkan studi ke Inggris. Kiat-kiat tersebut dirangkum dalam beberapa poin, antara lain:
Vanda berpendapat, sebelum memilih untuk melanjutkan studi di luar negeri, kita perlu untuk menentukan tujuan perguruan tinggi dan jurusan kita. Pilihlah jurusan yang benar-benar kita sukai, tidak sekadar penasaran. Selain itu, pilih juga kampus yang tepat. Kita juga bisa mempertimbangkan organisasi atau kegiatan ekstrakulikuler yang tersedia di kampus tersebut.
Kita tidak perlu merasa minder, takut atau khawatir menjadi orang asing di Inggris. Banyak orang Indonesia di sana. Lagipula, ada PPI juga yang cukup sering mengadakan pertemuan. Selain itu, orang-orang di Inggris juga ramah. Vanda sendiri sering mendapatkan bantuan saat sedang kesulitan.
Vanda juga menyarankan agar kita tidak perlu merasa khawatir karena kemampuan bahasa Inggris yang tidak perfect. “Karena banyak juga mahasiswa dari negara lain, yang bahasa Inggrisnya menurut saya tidak perfect,” tegasnya.
Ayleen berpendapat, masakan tidak hanya membantu kita mengatur keuangan untuk hidup di sana. Melalui makanan, kita juga bisa cara memperkenalkan identitas diri kita dan identitas negara Indonesia.
Vanda menyarankan agar kita membawa perlengkapan seperti rice cooker, guling, mie instan, kecap, dan perlengkapan/keperluan lain yang sekiranya sulit kita dapatkan di sana. Ayleen pun berpendapat demikian. Menurutnya, dengan begitu, akan membantu kita dalam menjalani kehidupan di Inggris.
Memang kita punya kesempatan untuk bekerja part-time selama menjalani kuliah. Akan tetapi, bukan berarti kita bisa menggantungkan sepenuhnya keuangan kita dari sana. Ayleen mengatakan, banyak mahasiswanya yang mengalami masalah finansial karena terlalu mengandalkan pekerjaan part-time.
Dari sekian banyak yang disampaikan oleh Ayleen, ia menekankan pada komunikasi kita terhadap orang tua. Menurutnya, sebisa mungkin tunjukkan perasaan kita saat meninggalkan mereka. Sempatkan waktu untuk mereka sebelum kita berangkat ke Inggris. “Sebagai orang tua, saya mengerti. Orang tua biasanya tidak mau menunjukkan kesedihan mereka kepada anaknya. Jadi, kalau bisa komunikasi dengan orang tua tetap dijaga,” pungkas Ayleen.
Nah, begitulah kira-kira rangkuman webinar bertajuk “Scholarships Warfare Chapter 3: Studying Abroad - Taking Your Future into Your Own Hands” dari Ayleen dan Vanda.
Kira-kira, sudah sejauh mana persiapanmu untuk kuliah di Inggris?