Oleh Mia Angeline
“Kita harus memberanikan diri untuk mengejar mimpi” – Dimas Abdirama
Dimas Abdirama membagikan cerita hidupnya dan tips untuk kalian yang akan kuliah di Jerman.
Kalau kalian ketinggalan menonton live interview-nya, kalian masih bisa menonton di IGTV @ehef.id atau baca cerita Dimas Abdirama di bawah ini.
Dimas Abdirama, berasal dari Jakarta, lulusan SMAN 61 di Jakarta Timur. Semasa SMA, Dimas dulu bercita-cita menjadi dokter karena ingin membawa perubahan dan membantu sesama. Pada saat pelajaran Biologi, Dimas membaca satu bab mengenai Bioteknologi yang membahas mengenai peran bioteknologi di dalam dunia kesehatan. Dimas lalu tertarik untuk belajar lebih jauh mengenai Bioteknologi, sayangnya pada tahun 2003 di Indonesia belum ada universitas yang membuka jurusan tersebut. Pada saat inilah Dimas mulai serius berpikir untuk meneruskan kuliah S1 di luar negeri.
Menurut Dimas, Jerman memiliki kemajuan teknologi, terutama di bidang life sciences, yang lebih unggul dari negara-negara lainnya. Selain itu, secara personal, Dimas juga menyukai kultur negara Eropa yang menurutnya sangat berbeda dengan Indonesia.
Dalam pikiran Dimas saat itu, kalau bisa kuliah di Jerman pasti ia akan mendapat pengalaman yang luar biasa, ketemu dengan orang-orang baru dan hebat di bidang Bioteknologi, serta bisa belajar budaya baru. Universitas yang dipilih Dimas adalah Technische Universitat Berlin dengan jurusan Medical Biotechnology.
Temukan daftar universitas di Jerman di sini!
Tantangan pertama yang dihadapi Dimas adalah harus belajar bahasa Jerman, karena untuk S1 sangat sedikit program yang dibuka dalam bahasa Inggris. Lalu ijazah SMA di Indonesia tidak disetarakan oleh pemerintah Jerman, sehingga Dimas harus mengikuti Studienkollegs (atau student college) yang berfungsi sebagai masa penyetaraan bagi pelajar lulusan SMA asing sebelum masuk kuliah di Jerman. Untuk bisa mengikuti Studienkollegs, Dimas harus lulus tes bahasa Jerman minimum di level B2.
Baca juga: Learning German for Beginners
Dimas mulai belajar bahasa Jerman di Jakarta dari bulan Maret tahun 2003, menjelang kelulusan SMA hingga tahun 2004 sampai berhasil masuk Studienkollegs. Selama masa Studienkollegs ini, Dimas harus belajar lagi beberapa pelajaran seperti di SMA, dan juga mendapatkan pelajaran bahasa Jerman. Di akhir Studienkollegs, akan ada ujian bahasa Jerman lagi, kali ini untuk menentukan apakah level bahasa Dimas sudah layak untuk masuk S1. Dimas harus lulus dengan level tertinggi, yaitu di C2. Setelah lulus mengikuti Studienkollegs, maka dimulailah perkuliahan Dimas di Technische Universitat Berlin (TU Berlin).
Klik di sini untuk detail lebih lanjut mengenai Kuliah S1 dan S2 di Jerman
Dari masa Studienkollegs pada tahun 2004 hingga tahun 2007, Dimas hidup di Berlin dengan dibiayai orang tua. Kuliah Dimas di TU Berlin di waktu itu tidak ada tuition fee, hanya ada biaya administrasi sebesar sekitar €50 per semester. Sehingga orang tua Dimas lebih banyak menanggung biaya hidup saja.
Bahkan hingga saat ini, menurut Dimas biaya hidup di Berlin lebih murah dari kota-kota besar di Eropa lainnya. Untuk menghemat biaya hidup, kalian bisa mencari asrama di universitas masing-masing atau sharing apartemen di luar kampus. Kalau dihitung-hitung, di tahun 2018 biaya per bulan untuk mahasiswa termasuk sharing apartemen sekitar €300, asuransi €100, internet €50, dan biaya makan. Untuk menghemat, kalian bisa masak makanan sendiri atau makan di Mensa (kantin) sekitar €6 per hari.
Prinsip ini yang membuat Dimas semasa kuliah aktif di bidang kemahasiswaan. Tepatnya sebagai Student Assistant di admisi untuk mahasiswa Master dan Doctoral TU Berlin. Keaktifan ini membuat Dimas diberi award berupa beasiswa STIBET dari DAAD pada tahun 2010. Dimas diberikan beasiswa selama 3 tahun dengan syarat harus tetap aktif di sebagai Student Assistant di TU Berlin.
Dimas kemudian memutuskan untuk meneruskan studinya hingga S3 di TU Berlin. Bidang yang dipilih adalah Imunologi yang fokus pada penyakit Lupus (auto-immune). Ketertarikan Dimas di bidang Imunologi dimulai ketika menyusun thesis mengenai hubungan antara stem cell dan immune cell. Dimas ingin memberikan kontribusi untuk penyakit ini, karena hingga saat ini Lupus termasuk salah satu penyakit yang sulit didiagnosa dan belum ada obatnya.
Selain itu, Dimas juga aktif di beberapa komunitas dan kegiatan di luar kampus. Di antaranya sebagai instruktur pengajar Bahasa Indonesia ke mahasiswa asing di Kedutaan Besar RI di Berlin. Sebagai auditor dan konsultan untuk makanan halal dari Halal Food Council of Europe. Juga sempat aktif di PPI Berlin.
Saat ini, Dimas bekerja sebagai Senior Consultant di Ernst & Young GmbH. Dan aktif di organisasi IWKZ, suatu organisasi yang mengepalai masjid Indonesia di Berlin.
Untuk daftar lengkap Beasiswa Kuliah ke Jerman, klik di sini
Dari achievement dan kesuksesannya, bukan berarti Dimas tidak pernah menghadapi kegagalan lho. Cerita kegagalan selama masa studi Dimas di Berlin terjadi ketika awal kuliah S1.
Pada saat awal kuliah, Dimas termasuk yang dapat mengikuti pelajaran dengan mudah, termasuk matematika dan fisika. Namun ketika masuk semester 3 ada beberapa mata kuliah yang gagal di ujian. Di Jerman, kalau gagal di ujian pertama, kalian bisa mengulang di ujian kedua, kalau gagal lagi maka harus mengambil ujian ketiga yang bukan lagi ujian tertulis, tapi diskusi dengan dosen. Jika masih gagal di ujian ketiga, maka langsung dianggap DO atau drop out, dan dipulangkan ke Indonesia karena visa pelajar kalian akan otomatis tidak berlaku lagi.
Di masa ini, Dimas gagal di ujian pertama dan kedua, bahkan sempat merasa down dan frustasi karena merasa tidak mampu mengikuti pelajaran. Menyadari kegagalannya, Dimas akhirnya merubah cara belajarnya.
Untuk mempersiapkan diri menghadapi ujian ketiga, Dimas mulai ke perpustakaan dan membaca buku untuk lebih paham materi kuliah secara detail. Sekitar dua minggu dihabiskan Dimas di perpustakaan untuk mempersiapkan diri. Dan kerja keras Dimas tidak sia-sia, Dimas lulus ujian ketiga dengan nilai yang lebih baik.
Pelajaran yang dipetik oleh Dimas, tidak bisa belajar dengan sistem kebut semalam. Di Indonesia, kita diajari cara memecahkan masalah, namun di Jerman, mahasiswa diajari berdiskusi untuk menyelesaikan masalah. Dimas sadar dengan berdiskusi maka pemahaman mahasiswa akan menjadi lebih kuat.
Berikut ini adalah rangkuman tips yang diberikan oleh Dimas:
Jangan malas
Sebelum mendaftar cari tahu dulu secara lengkap sistem pendidikan di negara yang dituju dan persyaratan yang dibutuhkan. Berapa level bahasa minimum yang dibutuhkan? Apakah ada masa penyetaraan? Dokumen apa saja yang harus dilengkapi?
Tidak pernah ada kata terlambat
Belajar bahasa tidak susah, hanya kalian harus banyak latihan. Harus banyak baca, banyak menulis, banyak menonton film, dan banyak mengobrol dalam bahasa tersebut. Jangan takut dan malu.
Belajarlah mengatur waktu
Kalian harus cari tahu akar masalah yang membuat kalian sulit membagi waktu, misalnya kenapa kalian lebih suka mengundur-undur pekerjaan? Kenapa lebih suka main game dibanding belajar? Kalau akar masalahnya sudah diketahui maka bisa dicari solusinya.
Habiskan banyak waktu di perpustakaan
Biasakan membaca karena kunci sukses kuliah di Jerman adalah harus banyak baca. Di perpustakaan kalian akan terbawa dengan suasana belajarnya, dan biasanya lebih efektif dibanding kalau kalian belajar di kamar.
Belajar berkomunikasi
Sistem kuliah di Jerman lebih fokus pada diskusi, jadi kalian harus berani untuk beropini dan menunjukkan prestasi kalian ke sesama mahasiswa atau dosen. Jangan banyak diam seperti di Indonesia.
Persiapkan mental
Budaya Jerman sangat berbeda dengan Indonesia, jadi kalian juga perlu menyiapkan mental. Harus pantang menyerah dan berani berusaha. Kalau kalian kangen masakan rumah, jangan khawatir karena makanan halal gampang dicari dan di Berlin sendiri ada 3 restaurant Indonesia.
Selain itu, Dimas juga memberikan tips khusus untuk menulis motivation letter sebagai bagian aplikasi kalian ke universitas di Jerman.
Padahal seharusnya kita menulis satu motivation letter untuk masing-masing universitas. Harus dipikirkan kenapa kita mau masuk ke universitas tersebut.
Karena program Bioteknologi di Jerman lebih bagus daripada negara lainnya, dilihat dari peringkat riset atau QS university ranking.
Karena melihat banyak publikasi mengenai Imunologi dari TU Berlin, atau karena pemerintah banyak memberikan dana penelitian untuk universitas tersebut. Sebaiknya cari tahu dulu keunggulan setiap universitas sebelum menyusun motivation letter.
Klik di sini untuk mendapatkan Panduan Lengkap Menulis Motivation Letter untuk Melanjutkan Studi Ke Eropa!
Kuliah di Jerman memang memiliki tantangan tersendiri, namun jangan jadikan ini sebagai alasan kalian untuk menyerah menggapai mimpi.
Ingin bertemu dengan representatif universitas Jerman? Jangan lewatkan EHEF 2018, pameran pendidikan tinggi Eropa terbesar di Indonesia yang paling dinanti-nanti. Segera daftarkan dirimu sebagai peserta dalam perhelatan akbar EHEF 2018 secara GRATIS di sini.